Moderasi Agama dan Pendidikan Dakwah Islam


Generasi muslim saat ini berhadapan dengan tantangan konsep (akidah) dalam beragama. Secara tidak langsung, tantangan konsep ini merupakan warisan dalam sejarah politik umat Islam. Seiring perkembangan zaman, kompleksivitas tantangan tersebut semakin besar. Globalisasi menuntut cendekiawan muslim merumuskan secara mendalam mengenai dasar dan pemecahan masalah dalam penerapan agama secara baik. Selain itu perbedaan wilayah regional, kultur budaya, dan sosial masyarakat memberikan pandangan konsep yang berbeda. Sebagai pemisalan adalah nilai dan produk hukum Islam Indonesia akan berbeda dengan produk hukum negara lain. Hukum yang dirumuskan Imam Syafi’i berbeda dengan perumusan hukum Imam Hambali, Imam Maliki maupun Imam Hanafi. seperti hal nya pada konsep jual beli mu’athah (sistem barter). Sebagian ulama mazhab syafi’i tidak memperbolehkan karena sulit diketahui unsur keridhaan antara penjual dan pembeli. sedangkan beberapa ulama mazhab memperbolehkan karena merupakan tradisi (urf) masyarakat arab. Keniscayaan mengenai perbedaan budaya setiap negara merupakan akar munculnya produk hukum yang tak sama. Sehingga hal ini menjadi tombak oleh beberapa kelompok dalam menuruti egoisme kekuasaan baik politik, ekonomi, maupun sosial yang mengatasnamakan agama.

Konsep yang disinggung dalam tulisan ini adalah mengenai moderasi beragama. Konsep tawasuth (moderas/ pertengahan) dalam beragama yang telah diisyaratkan dalam surat Al-Baqarah ayat 143:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا ٱلْقِبْلَةَ ٱلَّتِى كُنتَ عَلَيْهَآ إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Artinya :

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”

Penggambaran mengenai ayat di atas, ulama memiliki pandangan yang berbeda. Hal ini disesuaikan oleh kondisi sosial masyarakat yang ada. Kedalaman keilmuan mufassir dan corak pemikirannya akan memberikan gambaran yang berbeda dalam konsep moderasi tersebut. Ulama sebagaimana Quraish Shihab memberikan pandangan dalam perumusan sikap moderat. Menurutnya beberapa hal agar tercipta tatanan beragama secara moderat adalah mengenai pengetahuan agama dan pemahaman kondisi masyarakat. Ambisius dalam konsep kekuasaan merupakan akar dalam permasalahan moderasi agama. Pemikiran destruktif mengenai nilai dan ajaran Islam muncul akibat ketamakan dalam kekuasaan. Hal ini muncul ketika terdapat golongan yang berusaha menentang kekuasaan Islam yang sah. Sejarah menamakan golongan tersebut sebagai khawarij.[1] Kelompok ini tercatat dalam sejarah sebagai kaum murji’ah.[2] Kelompok yang memiliki corak pemikiran dimana memberikan kebebasan yang nyata dalam konsep beragama (liberal).

Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia menjadi sorotan penting dalam hal moderasi Islam. Oleh karena itu pemahaman tentang moderasi beragama harus dipahami secara kontekstual bukan secara tekstual, artinya bahwa moderasi dalam beragama di Indonesia bukan Indonesianya yang dimoderatkan, tetapi cara pemahaman dalam beragama yang harus moderat karena Indonesia memiliki  banyak kultur, budaya dan adat istiadat.

[1]Abû al-Fath Muhammad bin Abd al-Karîm asy-Syihristani, al-Milâl wa an-Nihâl, (Syiria:   Mu’assah Al-Halabi), Jil. 1, h. 114

[2]Ash-Shihristani, al-Milâl wa an-Nihâl, vol. 1, h. 139

Posting Komentar

0 Komentar